Selasa, 06 Maret 2012

PROBLEM KURIKULUM PENDIDIKAN SAINS

Kurikulum diartikan sebagai rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelengaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (BSNP, 2005: 3). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah (guruw.wordpress.com/2007/04/30/ktsp-kurikulum-tingkat-satuan-pendidikan-whats-up). Menurut Sukardjo (2012: 2), lingkup dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada pembelajaran sains yang wajib dimengerti oleh pendidik adalah: (1) kompetensi pembelajaran sains, (2) materi pembelajaran sains, (3) model pembelajaran sains, dan (4) model penilaian hasil pembelajaran sains. Lingkup KTSP tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Lingkup KTSP yang wajib dimengerti oleh pendidik

Ada tiga problem yang disampaikan beserta alternatif solusinya Problem-problem tersebut yaitu:

1.KTSP dianggap “membebani” guru
KTSP membuka ruang partisipasi kreatif guru dan pengelola sekolah dalam penjabaran rencana kompetensi pembelajaran, model pembelajaran, materi pembelajaran, serta model penilaian pembelajaran. Standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar kurikulum masih ditentukan oleh pemerintah pusat namun implementasi detailnya diserahkan kepada pengelola sekolah dan guru. KTSP menekankan pentingnya partisipasi kreatif guru dan proses belajar mengajar yang berpusat pada peserta didik. Guru ditantang untuk menciptakan pembelajaran yang kontekstual dengan lingkungan peserta didik. Suasana belajar harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Guru mempunyai tugas untuk melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien (Peraturan Pemerintah nomor 19/2005 tentang standar nasional pendidikan, pasal 19 ayat 1 dan 3). Berbagai kebijakan KTSP tersebut jika dilaksanakan dengan baik maka akan dapat meningkatkan mutu pendidikan khususnya pendidikan sains.
Meskipun demikian, terdapat permasalahan yang ada di lapangan. KTSP dirasa membebani guru karena selain tugasnya mendidik, guru juga harus merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran. Menurut Mulyani, advisor KTSP di Ponorogo Jawa Timur, seperti dikutip dalam Forum Mangunwijaya (2007: 60), “Masih banyak guru yang bingung harus berbuat apa saat KTSP diterapkan. Teorinya memang mudah tapi prakteknya sulit”. Menurut Doni Koesoema A seperti dikutip dalam Forum Mangunwijaya (2007: 60), “KTSP dipandang membebani guru”.
Para guru “sibuk” bergelut dengan KTSP. Ada yang jatuh bangun menyusun atau mengembangkan sendiri setelah membaca berbagai sumber, tidak kurang yang sekedar menunggu perkembangan dalam artian nanti tinggal copy paste saja, pun tidak sedikit yang bingung dan bingung dan akhirnya tidak berbuat apa-apa (J.C Tukiman Taruna, 2007: 65).
Menurut J.C Tukiman Taruna (2007: 65), beberapa solusi yang dapat dilaksanakan agar KTSP tidak membebani guru dan dapat mengembangkan partisipasi aktif guru adalah:
a. Adanya model pelatihan (bimbingan teknis) untuk guru.
b. Hindarkan guru dari hanya menjiplak contoh.
c. Optimalkan KKG atau pun MGMP
d. Optimalkan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan (PAKEM)

2.Standar kompetensi dan materi dalam kurikulum yang “luas dan dalam” terlalu membebani peserta didik
Ilmu dan teknologi saat ini melaju dengan sangat pesat. Sains merupakan ilmu yang tidak dapat dipisahkan dengan teknologi. Perkembangan dalam pendidikan sains secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan teknologi. Begitu juga sebaliknya, perkembangan teknologi akan mempengaruhi perkembangan pendidikan sains pada umumnya dan kurikulum pendidikan sains pada khususnya. Sukardjo (2012: 1) menyatakan bahwa kemajuan ilmu dan teknologi merupakan salah satu landasan pembaharuan dalam kurikulum.
Menurut Paul Suparno (2000: 71) kurikulum SMA di Indonesia memuat banyak mata pelajaran dan bahan yang sangat luas. Menurut Drost yang dikutip dalam Paul Suparno (2000: 71), kurikulum SMA hanya dapat diikuti oleh 30% peserta didik karena bahannya terlalu banyak dan terlalu tinggi. Akibatnya peserta didik merasa berat untuk mengikuti kurikulum yang ada. Paul Suparno (2000: 71) menambahkan, hampir semua bahan fisika untuk perguruan tinggi dalam tahun pertama sudah diajarkan di SMA.
Kurikulum dibagi atas dasar tingkat kedalaman dan keluasan (Sukarjo, 2012: 1). Kurikulum Fisika yang ada di SMA saat ini dirasakan memiliki keluasan yang cukup luas dan kedalaman yang cukup dalam. Dari segi isi materi, materi IPA (Fisika) yang diajarkan di SMA masih terlalu menekankan bahan-bahan klasik yang memang penting, tetapi kurang memasukkan bahan dan penemuan modern yang lebih dekat dengan situasi teknologi saat ini. Misalnya dalam bidang fisika, bahan fisika modern dan penemuan modern tidak ditonjolkan, sedangkan bahan klasik sangat ditonjolkan. Menurut Paul Suparno (2000: 72) hal tersebut mengakibatkan peserta didik kurang tertarik untuk mempelajari fisika.
Trend pendidikan yang banyak dikembangkan di Amerika Serikat menekankan less is more, yaitu jumlah bahan dikurangi agar peserta didik dapat meneliti secara lebih mendalam (AAAS dalam Paul Suparno, 2000: 72). Dengan mengurangi luasnya jumlah materi yang harus dipelajari, peserta didik mempunyai waktu untuk menyelesaikan materi tertentu secara lebih mendalam. Bruner dalam Paul Suparno (2000: 72) memberikan solusi bahwa dengan pendekatan ini, materi yang diberikan harus dipilih yang pokok saja, yaitu konsep-konsep dasar yang sungguh perlu.

3. Model pembelajaran dan penilaian yang autentik lagi-lagi dirasakan membebani guru
Salah satu komponen kurikulum yang penting adalah model penilaian pembelajaran. Model penilaian tentunya disesuaikan dengan model pembelajaran yang dilaksanakan. Pembelajaran sains seharusnya kontekstual dengan lingkungan peserta didik. Suasana belajar harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Peraturan Pemerintah nomor 19/2005 tentang standar nasional pendidikan, pasal 19 ayat 1 dan 3).
Model penilaian pembelajaran seharusnya dapat mengukur dengan sekaligus untuk aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Permasalahan yang dihadapi adalah biasanya guru kesulitan dalam menilai aspek psikomotor peserta didik, misalnya dalam kegiatan praktikum. Misalnya dalam satu kelas eorang guru harus menilai aktivitas peserta didiknya yang berjumlah sekitar 30 orang lebih.
Salah satu solusi dalam permasalahan ini adalah dengan penilaian autentik. Penilaian autentik merupakan bagian dari penilaian kinerja yang berusaha mengukur atau menunjukkan pengetahuan dan ketrampilan peserta didik dengan cara menerapkan pengetahuan dan ketrampilan itu pada kehidupan nyata. Teknik penilaian autentik yang dapat dilaksanakan antara lain penilaian diri (self evaluation) dan penilaian teman sebaya. Penilaian diri atau evaluasi diri merupakan teknik penilaian dimana peserta didik diminta untuk menilai dirinya sendiri yang berkaitan dengan status, proses dan tingkat ketercapaian kompetensi yang sedang dipelajarinya dari suatu mata pelajaran tertentu. Penilaian tutor teman sebaya merupakan teknik penilaian dimana peserta didik diminta untuk menilai temannya. Dengan teknik penilaian ini diharapkan dapat membantu mengurangi beban guru dalam penilaian.



DAFTAR PUSTAKA
Forum Mangunwijaya. (2007). Kurikulum yang Mencerdaskan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Shindunata. (2000). Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
DLL

Tidak ada komentar: